Menatap langit orange dari bumi orange ; Ini bukan tulisan Seorang pujangga yang merangkai bait-bait aksara seindah penyair telaga sastra. Bukan pula ahli agama yang menyerukan syair-syair beraroma surgawi.Disinalah toleransi pikiran dan hati tercipta. INI TENTANG ASA DAN RASA
Rabu, 18 Desember 2013
Kamis, 12 Desember 2013
Apa kabar mimpi
Masihkah kau menunggu
Sudihka kau menunggu
Asaku adalah menggapaimu
Meski ku tertati mencarimu
Ada jejak-jejak realita yang harus kudaki
Tapi ku takkan lelah mencari
Tak peduli maut menghampiri detak nadi
Sekalipun lautan api membatasi serambi mimpi
Janganlah lelah menunggu
Karna ku takkan lelah melangkah padamu
Adamu adalah asa bagiku
Adamu adalah ambisiku
Sebelum detak nadi berhenti
Meskipun letih menghampiri
Tak ada kata berhenti untuk mencari
Demi menggapai menara mimpi
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar ; 12.12.13
Rabu, 11 Desember 2013
Simalakama Perjuangan
Salam perjuangan
Jika saatnya harus turun kejalan
Jika saatnya harus meneriakkan
Maka kami akan mengekspresikan
Tuan…
Kami adalah anakmu yang mencari
kebenaran
Kami adalah anakmu yang menuntut
kebenaran
Bahasa kami adalah bahasa kebenaran
Kami berdiri diatas rel kebenaran
Itu adalah prinsip kami turun ke jalan
Tuan…
Kami mengerti, anda menggerutu dengan
adanya aksi kami
Kami mengerti, anda jengkel dengan
macetnya sana sini
Tapi apakah anda mengerti, kenapa kami
ada disini?
Tuan…
Kami tidaklah menginginkan anarkis
Kami hanya menagih janji manis
Kata-kata pedis tidaklah cukup bagi kaum
yang begitu bengis
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar, 11.12.13 14.00
Jumat, 29 November 2013
Aku sama seperti mereka
Tidak
ada membedakan diantara kalian disisi Tuhan kecuali amal ibadahnya.Itu sebuah
statement yang diajarkan dalam agama yang aku anut. Aku dan mereka tercipta
sebagai makhluk yang sama yang dinamakan manusia.
Statement
itu sejak kecil di ajarkan oleh orang tuaku dan selalu diingatkan oleh guru
mengajiku. Tapi, namanya saja anak kecil mengenal Tuhan hanya sebatas kata.
Kadang-kadang pertanyaan konyol itu muncul.
“Ayah…
Tuhan itu apa..., Tuhan itu dimana... ?” Lekas ayah menjawab ; Nak ..., Tuhan
itu yang menciptakan kita dan semua seisi langit dan bumi. Tuhan itu hebat ya
ayah? pertanyaan pun aku lanjut; jadi yang menciptakan mobil, gedung-gedung
tinggi, Tuhan juga ya ayah? Kalo gitu saya mau jadi Tuhan, supaya aku bisa
buatkan ayah mobil, buatkan ayah rumah gedongan, aku mau buat ayah bisa
bahagia. Ayah pun dengan senyum khasnya bijak menjawab; tidak usah capek-capek
jadi Tuhan, ikuti saja perintah-perintah Tuhan, cukup itu yang membuat ayah
bahagia.
Aku
mungkin sedikit beruntung dibandingkan bocah-bocah jalanan yang kusam
menadahkan tangan-tangannya di tiap persimpangan jalan-jalan kota besar. Aku
bersyukur terlahir dan besar dalam keluarga masih lengkap. Ayah dan Ibu
membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang, menyekolahkanku hingga
perguruan tinggi. Terimah kasih Ummiku, terimah kasih Ettaku. Etta (panggilan
untuk ayahku), Ummi (panggilan untuk ibuku).
Aku
terlahir dari keluarga tidak miskin kurang kaya cukup sederhana. Aku bergaul
dengan teman-teman sebayaku tanpa mengenal strata sosial. Menginjak usia remaja
pergaulanku tetap sama dengan mereka, dinamika usia remaja tetap juga aku
rasakan seperti yang mereka rasakan. Hingga yang namanya cinta monyet sempat juga
aku rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu
sama.
Setelah
lulus sekolah menengah atas, aku melanjutkan ke perguruan tinggi negeri di
sebuah kota yang termasuk kota metropolitan di belahan Timur Indonesia.
Perguruan tinggi itu cukup bergengsi secara nasional. Disanalah aku mengenal
segala macam latar belakang sosial dan ekonomi. Kami disambut bersama pulahan
ribu mahasiswa dengan sestimoni-sestimoni mengobarkan api semangat jiwa muda.
Disanalah aku kembali mencari perbedaan diantara puluhan ribu orang. Yang ku
dapati hanyalah persamaan. Kami sama-sama berpakaian putih hitam, kami
mahasiswa pria sama-sama gundul. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka?
Aku dan mereka itu sama.
Aku bersyukur lulus pada satu fakultas
yang dikenal cukup keras pola hidupnya. Mulai dari prosesi pengkaderan hingga
mata kuliah cukuplah menguras. Sejenak aku tersadar, bersyukur terdidik dari
keluarga yang sedikit keras, namun tetap ada kasih sayang. Tidak sedikit
mahasiswa baru yang lain mundur dari ganasnya style hidup di fakultas yang aku
lulusi. Disana ada proses pengkaderan berupa pencabutan hak asasi. Pada awalnya
itu sesuatu yang sulit untuk di terima. Katanya kita sudah mahasiswa, masa-masa
inilah dirasakan kemerdekaan seutuhnya. Kenapa hak asasi kami mesti dicabut
oleh senior yang sama sekali tidak punya hak. Bukankah hak asasi diatur dalam
regulasi di negara kita? sok protes sama senior. Ujung-ujungnya protes itu
dijawab dengan sebuah tamparan sendal eiger. Etzzz… gak’ usah dibayangin
sakitnya mas bro, tak terbayangkan.
Bukankah hak kita mengatur style rambut,
style pakaian (tentunya dalam batas kesopanaan)? Itu contoh kecil hak kami
mahasiswa baru yang dicabut. Kepala kami di plontos, pakaian kami hanya
berwarna hitam putih selama satu tahun. Sebuah panggilan menjijikkan yang tiap
hari menjadi konsumsi kuping ketika bertemu dengan senior yaitu “Tai cicak dan
botak”. Bayangin saja kita punya nama yang indah pemberian orang tua sekaligus
doa bagi kita tiba-tiba di panggil seperti itu. Etzzz...lagi-lagi jangan di
bayangin mas bro...
Itu
semua berlangsung selama satu tahun pertama di perguruan tinggi. Kami selaku
mahasiswa baru tentunya merasa ini bukan sebuah keadailan, ini sebuah
penindasan. Seakan-akan sok pintar bicara tentang keadilan dan penindasan.
Selepas
satu tahun di perguruan tinggi tentunya akan ada lagi mahasiswa baru yang akan
mengalami proses yang sama seperti yang telah aku lewati. Aku menyadari bahwa
itu semua adalah proses yang keras untuk sebuah esensi. Bukanlah sebuah
ketidakadilan bukan pula sebuah penindasan. Proses itulah yang mengajarkan
tentang persamaan, kami tidak merasakan perbedaan strata sosial, mungkin karena
kami sama-sama botak. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan mahkota di kepala
kita. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan pakaian yang kita pakai. Pada dasarnya
kita itu sama. Kita sama-sama punya kepala untuk berpikir. Kita sama-sama punya
tubuh untuk ditutupi oleh panasnya matahari dan dinginnya malam. Lantas apa
yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu sama.
Dinamika
kehidupan anak muda juga aku rasakan seperti mereka. Hingga yang namanya virus
merah jambu merasuki jiwa-jiwa yang berhasrat untuk memiliki juga sempat aku
rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka?
Aku
sama seperti mereka. Tapi belum tentu aku dengan kalian sama. Kalian itu makan
keju, mereka makan singkong. Orang tua kalian kaya, orang tua mereka kurang
kaya. Kalian berpakain mahal, mereka berpakaian murah meriah. Kalian tinggal
dirumah gedongan, mereka tinggal di gang-gang kumuh. Kalian itu bermobil,
mereka gonta ganti mobil dan sopir tiap hari.
Aku
sama seperti mereka dan tidak akan pernah mencari sisi perbedaan. Aku mungkin
berbeda dengan kalian dan aku mencari sisi persamaan.
Bukankah
kita sama-sama membutuhkan sesuap nasi dan seteguk air demi memenuhi lapar dan
dahaga. Kita sama-sama menangis dikala sedih dan tertawa disaat gembira. Kita
sama-sama gemetar sewaktu ketakutan melanda serta tergelak ketika kegembiraan
menerpa. Kita sama-sama berkeringat dibawah terik matahari dan menggigil
ditengah dinginnya malam ?
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar 30.11.13
Selasa, 26 November 2013
Aku dan Malam
Maukah kau dengar suara itu, kini disini di bawah pilar-pilar kerinduan. Bintang-bintang yang mengalir pada nadi, angin menderuh, birunya langit, hijaunya bumi kini telah didekap oleh gelapnya malam.
Serasa tak mampu lagi menulis puisi untuknya tentang asa. Apakah malam tidak lagi menjadi sahabat baik untukku? Apakah malam tidak lagi mau mendengar keluh kesahku? Bintang yang selama ini menemani malam-malamku, bintang yang selama ini mengajarkanku tentang asa, bintang yang selama ini membawaku pada relung-relung imajinasi, kini tenggelam oleh gulitanya malam.
Kini aku
menyalahkan malam, begitu tega menelan asa yang selama ini kuceritakan padanya,
begitu tega menelan bintang yang selama ini menemani malam-malamku. Perdebatan
panjang aku dan malam. Apakah malam memang begitu tega padaku, ataukah bintang
hanya terhalang oleh gumpalan awan, ataukah bintanglah yang memang telah menjauh
dariku, jangan-jangan aku yang tega pada malam, menyalahkan malam semauku?
Itulah perdebatan antara aku dan malam. Bukankah malam adalah karibku yang
setia mendengar keluh kesahku, setia mendengar tiap perihnya perjalananku,
setia mendengar tiap asa yang kubangun tiap aku terjatuh?
Hembusan angin
menyadarkanku, aku tak pantas menyalahkan malam. Bukanlah malam menenggelamkan cahaya bintangku,
sebaliknya dialah bersusah payah menutupi cahaya siang untuk mempertemukanku
dengannya (bintang inspirasiku). Relung-relung imajinasiku selalu bercerita
tentangnya. Disanalah aku menyapanya, disanalah kutatap senyumnya, disanalah ku
merasakan hitam putih hidupnya.Tapi kini, bintang itu tak ada lagi. Mungkin
jaraknya sudah sangat jauh untuk di tangkap oleh kedua bola mataku, ataukah
mataku yang tak lagi mampu melihatnya.
Kini kembali ku bersama
malam menatap langit yang kosong. Akankah ada cahaya lain di atas sana, yang
sudih menemani malamku? Kini ruang imajinasiku tak lagi mampu bercerita tentang
senyum. Seakan tak ada lagi asa yang harus aku tatap esok pagi. Aku harap malam
ini dan malam-malam setelahnya akan ada cahaya lain yang menemani
kesendirianku. Sebuah harap yang kubisikkan pada malam.
Harapku seakan
terjawab, sebuah cahaya sendu di balik awan menyapa dengan hangat. Tersenyum manis
sebagai pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang sepi. Cahaya itu adalah cahaya bulan
sabit yang hangat menyapaku. Cukup mengerti hitam putihnya kehidupan. Cahayanya
seakan pancaran Nur Tuhan yang mengajarkan arti kehidupan. Entah kenapa aku
begitu akrab dengannya? Cahaya ini cukuplah bersahabat. Sebahagian dalam diriku
kuceritakan padanya. Malah dia sudih mendengar keluh kesahku dan memintaku
menceritakan saja padanya. Akankah cahaya ini yang akan menemani perjalananku
melangkahkan kaki mengikuti jejak-jejak cahaya perjalanan Muhammad (Nabiullah
Muhammda SAW, segala puji bagimu), ataukah cahaya ini hanya hadir untuk malam
ini dan kemudian meninggalkan. Apapun itu, aku bersyukur pada Tuhan telah
mempertemukan aku dengannya. Tidaklah pertemuan itu untuk bersama, tidak pula
perpisahan itu untuk saling menjauh. Karna pertemuan dan perpisahan hanya persoalan
tempat dan waktu.
Mulai malam ini aku tak
akan lagi menyalahkan malam tentang gelapnya. Aku tidak lagi takut akan
gulitanya malam. Karna disanalah aku temukan cahaya-cahaya inspirasiku. Terimah
kasih malam, aku bersyukur padaMu Tuhan telah menciptakan malam.
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar 26.11.13 / 20.00 PM
Selasa, 19 November 2013
Sebatas Fatamorgana
Berawal dari cerita bertahun-tahun yang lalu.
Tentang seorang bidadari tak bersayap.
Ku fokuskan kuping, agar tidak terlewatkan sedikitpun cerita tentangnya.
Seakan aku jadi seorang candu.
Ingin dan selalu ingin mendengar cerita tentangnya.
Ketika candu melanda dibalut rindu.
Aku menyamarkannya dalam sulaman abjadku.
Ku rangkai dengan rapi dalam kalimatku.
Ku kemas dalam paragrafku.
Ku jadikan sebuah cerita tentang asa.
Tapi itu semua sebatas fatamorgana.
Kilauannya terbias di tengah teriknya mentari.
Ketika hujan datang menyapa.
Sekejap hilang tanpa jejak.
Rahmatullah Andi Arno / Makassar, 19.11.13
Jumat, 15 November 2013
TemARAM
Aku apa ...?
Aku siapa...?
Aku mengapa...?
Aku tak berada diantara angkuhnya terik matahari
Meski kemilau, tapi tak terik
Beningnya bukanlah terang
Meski gelap, tapi tak gulita
Remangnya bukanlah buram
Berada di awal untuk menyambut
Berada diakhir untuk melepas
Aku datang diawal untuk menghangatkan jiwa-jiwa yang beku
Aku datang diakhir untuk menyejukkan jiwa-jiwa yang membara
Karna aku bukan tentang apa, siapa, mengapa ?
Ini tentang tetesan cinta, yang disematkan Tuhan kepadaku.
Rahmatullah Andi Arno / Makassar,15.11.13
Langganan:
Postingan (Atom)