Maukah kau dengar suara itu, kini disini di bawah pilar-pilar kerinduan. Bintang-bintang yang mengalir pada nadi, angin menderuh, birunya langit, hijaunya bumi kini telah didekap oleh gelapnya malam.
Serasa tak mampu lagi menulis puisi untuknya tentang asa. Apakah malam tidak lagi menjadi sahabat baik untukku? Apakah malam tidak lagi mau mendengar keluh kesahku? Bintang yang selama ini menemani malam-malamku, bintang yang selama ini mengajarkanku tentang asa, bintang yang selama ini membawaku pada relung-relung imajinasi, kini tenggelam oleh gulitanya malam.
Kini aku
menyalahkan malam, begitu tega menelan asa yang selama ini kuceritakan padanya,
begitu tega menelan bintang yang selama ini menemani malam-malamku. Perdebatan
panjang aku dan malam. Apakah malam memang begitu tega padaku, ataukah bintang
hanya terhalang oleh gumpalan awan, ataukah bintanglah yang memang telah menjauh
dariku, jangan-jangan aku yang tega pada malam, menyalahkan malam semauku?
Itulah perdebatan antara aku dan malam. Bukankah malam adalah karibku yang
setia mendengar keluh kesahku, setia mendengar tiap perihnya perjalananku,
setia mendengar tiap asa yang kubangun tiap aku terjatuh?
Hembusan angin
menyadarkanku, aku tak pantas menyalahkan malam. Bukanlah malam menenggelamkan cahaya bintangku,
sebaliknya dialah bersusah payah menutupi cahaya siang untuk mempertemukanku
dengannya (bintang inspirasiku). Relung-relung imajinasiku selalu bercerita
tentangnya. Disanalah aku menyapanya, disanalah kutatap senyumnya, disanalah ku
merasakan hitam putih hidupnya.Tapi kini, bintang itu tak ada lagi. Mungkin
jaraknya sudah sangat jauh untuk di tangkap oleh kedua bola mataku, ataukah
mataku yang tak lagi mampu melihatnya.
Kini kembali ku bersama
malam menatap langit yang kosong. Akankah ada cahaya lain di atas sana, yang
sudih menemani malamku? Kini ruang imajinasiku tak lagi mampu bercerita tentang
senyum. Seakan tak ada lagi asa yang harus aku tatap esok pagi. Aku harap malam
ini dan malam-malam setelahnya akan ada cahaya lain yang menemani
kesendirianku. Sebuah harap yang kubisikkan pada malam.
Harapku seakan
terjawab, sebuah cahaya sendu di balik awan menyapa dengan hangat. Tersenyum manis
sebagai pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang sepi. Cahaya itu adalah cahaya bulan
sabit yang hangat menyapaku. Cukup mengerti hitam putihnya kehidupan. Cahayanya
seakan pancaran Nur Tuhan yang mengajarkan arti kehidupan. Entah kenapa aku
begitu akrab dengannya? Cahaya ini cukuplah bersahabat. Sebahagian dalam diriku
kuceritakan padanya. Malah dia sudih mendengar keluh kesahku dan memintaku
menceritakan saja padanya. Akankah cahaya ini yang akan menemani perjalananku
melangkahkan kaki mengikuti jejak-jejak cahaya perjalanan Muhammad (Nabiullah
Muhammda SAW, segala puji bagimu), ataukah cahaya ini hanya hadir untuk malam
ini dan kemudian meninggalkan. Apapun itu, aku bersyukur pada Tuhan telah
mempertemukan aku dengannya. Tidaklah pertemuan itu untuk bersama, tidak pula
perpisahan itu untuk saling menjauh. Karna pertemuan dan perpisahan hanya persoalan
tempat dan waktu.
Mulai malam ini aku tak
akan lagi menyalahkan malam tentang gelapnya. Aku tidak lagi takut akan
gulitanya malam. Karna disanalah aku temukan cahaya-cahaya inspirasiku. Terimah
kasih malam, aku bersyukur padaMu Tuhan telah menciptakan malam.
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar 26.11.13 / 20.00 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar