Jumat, 29 November 2013

Aku sama seperti mereka


Tidak ada membedakan diantara kalian disisi Tuhan kecuali amal ibadahnya.Itu sebuah statement yang diajarkan dalam agama yang aku anut. Aku dan mereka tercipta sebagai makhluk yang sama yang dinamakan manusia.
Statement itu sejak kecil di ajarkan oleh orang tuaku dan selalu diingatkan oleh guru mengajiku. Tapi, namanya saja anak kecil mengenal Tuhan hanya sebatas kata. Kadang-kadang pertanyaan konyol itu muncul.
“Ayah… Tuhan itu apa..., Tuhan itu dimana... ?” Lekas ayah menjawab ; Nak ..., Tuhan itu yang menciptakan kita dan semua seisi langit dan bumi. Tuhan itu hebat ya ayah? pertanyaan pun aku lanjut; jadi yang menciptakan mobil, gedung-gedung tinggi, Tuhan juga ya ayah? Kalo gitu saya mau jadi Tuhan, supaya aku bisa buatkan ayah mobil, buatkan ayah rumah gedongan, aku mau buat ayah bisa bahagia. Ayah pun dengan senyum khasnya bijak menjawab; tidak usah capek-capek jadi Tuhan, ikuti saja perintah-perintah Tuhan, cukup itu yang membuat ayah bahagia.
Aku mungkin sedikit beruntung dibandingkan bocah-bocah jalanan yang kusam menadahkan tangan-tangannya di tiap persimpangan jalan-jalan kota besar. Aku bersyukur terlahir dan besar dalam keluarga masih lengkap. Ayah dan Ibu membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang, menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Terimah kasih Ummiku, terimah kasih Ettaku. Etta (panggilan untuk ayahku), Ummi (panggilan untuk ibuku).                        

Aku terlahir dari keluarga tidak miskin kurang kaya cukup sederhana. Aku bergaul dengan teman-teman sebayaku tanpa mengenal strata sosial. Menginjak usia remaja pergaulanku tetap sama dengan mereka, dinamika usia remaja tetap juga aku rasakan seperti yang mereka rasakan. Hingga yang namanya cinta monyet sempat juga aku rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu sama.
Setelah lulus sekolah menengah atas, aku melanjutkan ke perguruan tinggi negeri di sebuah kota yang termasuk kota metropolitan di belahan Timur Indonesia. Perguruan tinggi itu cukup bergengsi secara nasional. Disanalah aku mengenal segala macam latar belakang sosial dan ekonomi. Kami disambut bersama pulahan ribu mahasiswa dengan sestimoni-sestimoni mengobarkan api semangat jiwa muda. Disanalah aku kembali mencari perbedaan diantara puluhan ribu orang. Yang ku dapati hanyalah persamaan. Kami sama-sama berpakaian putih hitam, kami mahasiswa pria sama-sama gundul. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu sama.
Aku bersyukur lulus pada satu fakultas yang dikenal cukup keras pola hidupnya. Mulai dari prosesi pengkaderan hingga mata kuliah cukuplah menguras. Sejenak aku tersadar, bersyukur terdidik dari keluarga yang sedikit keras, namun tetap ada kasih sayang. Tidak sedikit mahasiswa baru yang lain mundur dari ganasnya style hidup di fakultas yang aku lulusi. Disana ada proses pengkaderan berupa pencabutan hak asasi. Pada awalnya itu sesuatu yang sulit untuk di terima. Katanya kita sudah mahasiswa, masa-masa inilah dirasakan kemerdekaan seutuhnya. Kenapa hak asasi kami mesti dicabut oleh senior yang sama sekali tidak punya hak. Bukankah hak asasi diatur dalam regulasi di negara kita? sok protes sama senior. Ujung-ujungnya protes itu dijawab dengan sebuah tamparan sendal eiger. Etzzz… gak’ usah dibayangin sakitnya mas bro, tak terbayangkan.
Bukankah hak kita mengatur style rambut, style pakaian (tentunya dalam batas kesopanaan)? Itu contoh kecil hak kami mahasiswa baru yang dicabut. Kepala kami di plontos, pakaian kami hanya berwarna hitam putih selama satu tahun. Sebuah panggilan menjijikkan yang tiap hari menjadi konsumsi kuping ketika bertemu dengan senior yaitu “Tai cicak dan botak”. Bayangin saja kita punya nama yang indah pemberian orang tua sekaligus doa bagi kita tiba-tiba di panggil seperti itu. Etzzz...lagi-lagi jangan di bayangin mas bro...
Itu semua berlangsung selama satu tahun pertama di perguruan tinggi. Kami selaku mahasiswa baru tentunya merasa ini bukan sebuah keadailan, ini sebuah penindasan. Seakan-akan sok pintar bicara tentang keadilan dan penindasan.
Selepas satu tahun di perguruan tinggi tentunya akan ada lagi mahasiswa baru yang akan mengalami proses yang sama seperti yang telah aku lewati. Aku menyadari bahwa itu semua adalah proses yang keras untuk sebuah esensi. Bukanlah sebuah ketidakadilan bukan pula sebuah penindasan. Proses itulah yang mengajarkan tentang persamaan, kami tidak merasakan perbedaan strata sosial, mungkin karena kami sama-sama botak. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan mahkota di kepala kita. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan pakaian yang kita pakai. Pada dasarnya kita itu sama. Kita sama-sama punya kepala untuk berpikir. Kita sama-sama punya tubuh untuk ditutupi oleh panasnya matahari dan dinginnya malam. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu sama.
Dinamika kehidupan anak muda juga aku rasakan seperti mereka. Hingga yang namanya virus merah jambu merasuki jiwa-jiwa yang berhasrat untuk memiliki juga sempat aku rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka?
Aku sama seperti mereka. Tapi belum tentu aku dengan kalian sama. Kalian itu makan keju, mereka makan singkong. Orang tua kalian kaya, orang tua mereka kurang kaya. Kalian berpakain mahal, mereka berpakaian murah meriah. Kalian tinggal dirumah gedongan, mereka tinggal di gang-gang kumuh. Kalian itu bermobil, mereka gonta ganti mobil dan sopir tiap hari.
Aku sama seperti mereka dan tidak akan pernah mencari sisi perbedaan. Aku mungkin berbeda dengan kalian dan aku mencari sisi persamaan.
Bukankah kita sama-sama membutuhkan sesuap nasi dan seteguk air demi memenuhi lapar dan dahaga. Kita sama-sama menangis dikala sedih dan tertawa disaat gembira. Kita sama-sama gemetar sewaktu ketakutan melanda serta tergelak ketika kegembiraan menerpa. Kita sama-sama berkeringat dibawah terik matahari dan menggigil ditengah dinginnya malam ?

Rahmatullah Andi Arno / Makassar 30.11.13

3 komentar:

  1. Ketika ada kata "persamaan" tentunya ada kata "perbedaan". Mungkin kita sama dalam hal-hal tertentu dan berbeda dalam hal-hal yang lain... :-)
    Menarik sekali tulisannya kak...
    4 Jempol untuk kita... :-)

    BalasHapus
  2. kita berbeda dalam segala hal, kecuali dalam cinta....

    BalasHapus
  3. Kita sama dalam hal cinta yang ditujukan kepadaNya dan kita bisa saja berbeda jika cinta itu tak lagi kembali pada hakikatnya.

    BalasHapus