Sabtu, 06 September 2014

GALAKSI CINTA

Galaksi itu ada sejak manusia pertama kali tercipta. Disana hidup para hati yang terjebak dalam ruang tunggu tanpa tepi waktu. Bersemedi, menanti bagian jiwa yang terbelah sejak lama. Mereka yang menysun saf semesta, bertawaf dalam lingkaran purba bernama… galaksi cinta.

       Sejak ledakan besar dahulu, Galaksi cinta ditaburi sejuta matahari yang terangnya 1000 kali lipat lebih cemerlang disbanding matahari milik bima sakti.

       Para penghuni galaksi cinta akan duduk bergerombol diatas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu lembut. Angin memainkan musik menabuh sepi dan kerinduan yang kronis. Mereka saling bercerita tentang kisah yang sama. Diulang-ulang, tetapi tidak pernah mendatangkan rasa bosan.

        Ada yang tersenyum sambil membisikkan dendang langkah. Lagu yang sudah tidak dikenali generasi masa kini. Punah dikunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya melelehkan air mata. Ia teringat tatapan mata belahan hatinya.

       Jika engkau cinta, tataplah seperti itu tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mungkin aku tukar dengan gunung emas. Tatapan kasih yang tak terbatas. Seolah tak cukup kau serahkan seluruh hidup. Tatapan yang tertinggal oleh waktu, mustahil diulang. Sebab belahan jiwanya terlanjur mengangkasa. Meninggalkan dia di galaksi cinta. Membiarkan menunggu tanpa tenggat waktu. Rasanya, melanjutkan hidup sekedar menghitung mundur menuju kematian. Namun, dia rela. Engkau mengatainya bodoh. Namun dia rela.

6 komentar:

  1. Hay kamu!
    Yah, kamu para penghuni galaksi.

    Biarkan ia mengangkasa, itu inginnya . .

    Masihkah engkau akan menunggu sebuah balasan yang tak pasti?
    Bermesra dengan kesepian
    Atau
    Menikmati luka, lalu mati .

    Kenapa tak menyelami hidup dengan menyimpan hati pada yang lain? Mungkin bisa dengan para penghuni galaksi yang lain. Tentunya yang lebih hidup dari sekedar hidup. Yang lebih indah dari sekedar bunga mawar. Yang lebih menawan dari sekedar batu berlian. Dan yang lebih memesona dari sekedar RATU jagad raya.

    Mungkin . .

    *Suara hati dari tetangganya penghuni galaksi yang lain . . ^_^

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. yah... menunggu balasan yang tak pasti....Egkau mengatainya bodoh, namun dia rela.

    Begitulah para penghuni galaksi. Sebab baginya adalah kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri.Seperti halnya kematian, tidak seorang pun baginya yang mengetahui kapan dia mati, tapi dia yakin pasti akan mati. keindahan baginya bukanlah yang tersingkap dan dinikmati oleh mata, sebab dia berjalan melampaui itu.Bukankah Tuhan Maha indah, namun tak seorang pun mampu melihatnya. Apa yang kalian lihat hanyalah pancaran keidahan yang bersifat semu.

    Begitlah penghuni galaksi cinta memandang keindahan disekelilingnya. Keindahan pesona pancaran bulan, bintang dan penghuni semesta lainnya tidaklah mampu mengantikan keindahan apa yang ada pada jiwanya, meski separuh dari jiwanya telah mengangkasa. :)

    BalasHapus
  4. Jika baginya kepastian adalah sebuah ketidakpastian, kenapa tidak mengangkasa bersama ia yang telah mengangkasa?
    Bukankah bersamanya adalah jalan menuju kepastian? Menuju titik pusat yang tak tergerai. Menuju kebahagiaan yang kekal. Bukan di sini memang, tapi di sana.
    Dan untuk kamu penghuni galaksi yang lain. Berkerutlah. Biarkan yang engkau harapkan mengembang bersama ia yang mengangkasa. Kau memang tak perlu apa-apa selain membongkar mata hati yang terbangun sejak sedia kala. Kau memang tak perlu apa-apa selain tetap melingkar bersama para penghuni yang lain. Karena mengharap adalah sebuah keniscayaan. Begitu adanya. .

    BalasHapus
  5. Cinta para penghuni galaksi adalah kerelaan. Jika mengangkasa bersama ia yang telah mengangkasa dengan keterpaksaan,maka bukanlah jalan menuju kebahagiaan. Jika cintanya adalah sebuah penderitaan, maka dia akan menikmati penderitaan sebagai buah dari cintanya. Jika cintanya adalah kesepian, maka dia akan menemui cintanya dalam keheningan. Jika cintanya adalah fatamorgana, maka dia akan menemui cintanya dalam teriknya mentari... sekali lagi jika engkau mengatainya bodoh, namu dia rela... :)

    BalasHapus
  6. Lalu kebahagiaan menurut penghuni galaksi itu seperti apa?

    Jika ia merelakan dan tetap membiarkan ia mengangkasa tanpa ingin bersama ia yang telah mengangkasa, lalu ingin apa?

    Bukankah sekeping hati yang bertemu dengan dengan kepingan lain adalah alasan yang membuat mereka untuk tetap terbentuk, melekat bersama dan tetap terus menyatu. Bukan di galaksi tapi di luar dari itu . Jauhh, tak terjamah oleh mata.

    Tidakkah belajar dari para penghuni bumi yang terlihat merelakan semua apa yang ia miliki dan yang tidak ia miliki. Bahkan jargon kata mengikhlaskan merajalela, namun pada hakikatnya ia tetap terus berharap surga melalui doa dunia akhiratnya. Bukankah pada intinya tidak ada yang betul-betul merelakan?

    BalasHapus