Puisi ini saya dedikasikan untuk ayahandaku tercinta, beliau telah wafat pada tangal 10 september 2013. Puisi ini saya tulis menjelang 40 hari kepergiaanya. Semoga dimudahkan jalannya. Aamiin... Terimah kasih ayah..., istri dan anak-anakmu akan berusaha ikhlas dengan semua ini, seakan begitu cepat. Namun inilah pembuktian dari Tuhan. Mungkin inilah cara Tuhan mentarbiah langsung keluargamu. Inilah pembuktian bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada akhirnya. Pembuktian bahwa tidak ada yang abadi kecuali diriNya. Dialah Maha Memiliki dan semua akan kembali padaNya.
Untukmu Ayah...
Menjelang 40 hari kepergianmu. Malam ini rindu menyeruak tanpa batas. Sementara puisi-puisiku tergeletak menangis menceritakan tentang satu kerinduan yang panjang. Sebab duka-duka puisiku lahir dari dukamu. Duka telah melahirkan kita menjadi makhluk terkapar dalam kesedihan.
Ku kenang tetesan keringatmu, kekar bahumu yang senantiasa menopang rumah tanggamu. Tak sedikitpun mimik lelah diwajahmu.
Selalu ku kenang .... !!!
Banyak yang harus ku kenang tentangmu, 24 tahun engkau mendidikku. Mulai cara berdiri, melangkah, berjalan hingga berlari.
Belum sempat aku menyembuhkan dukamu, engkau begitu tega meninggalkanku. Itu yang membuatku tertatih, berdiri pun ku tak mampu. Bagaimana aku mampu melangkah, berjalan hingga berlari seperti yang telah engkau ajarkan kepadaku ?
Kepergianmu adalah tarbiah berharga yang tidak kudapatkan di bangku sekolah. sebuah petanda bahwa tidak adanya keabadian di dunia ini.
Percayalah, ada selimut cinta yang mengharomonikan kisah dan masa depan di meja Tuhan. Bukankah kita akan memasuki ruang sidang Tuhan?. Semoga pintu-pintu ridho dibuka dan dicahayakn para malaikat, takdir akan menjelma aroma yang dinantikan. Akan kubentangkan sajadah panjang sebagai jembatan yang akan mempertemukan kita kelak.
Malam ini kucoba mengikhlaskan kepergianmu.
Sebab puisi-puisiku akan tetap bercerita tentangmu.
Rahmatullah Andi Arno / on oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar