Tidak
ada membedakan diantara kalian disisi Tuhan kecuali amal ibadahnya.Itu sebuah
statement yang diajarkan dalam agama yang aku anut. Aku dan mereka tercipta
sebagai makhluk yang sama yang dinamakan manusia.
Statement
itu sejak kecil di ajarkan oleh orang tuaku dan selalu diingatkan oleh guru
mengajiku. Tapi, namanya saja anak kecil mengenal Tuhan hanya sebatas kata.
Kadang-kadang pertanyaan konyol itu muncul.
“Ayah…
Tuhan itu apa..., Tuhan itu dimana... ?” Lekas ayah menjawab ; Nak ..., Tuhan
itu yang menciptakan kita dan semua seisi langit dan bumi. Tuhan itu hebat ya
ayah? pertanyaan pun aku lanjut; jadi yang menciptakan mobil, gedung-gedung
tinggi, Tuhan juga ya ayah? Kalo gitu saya mau jadi Tuhan, supaya aku bisa
buatkan ayah mobil, buatkan ayah rumah gedongan, aku mau buat ayah bisa
bahagia. Ayah pun dengan senyum khasnya bijak menjawab; tidak usah capek-capek
jadi Tuhan, ikuti saja perintah-perintah Tuhan, cukup itu yang membuat ayah
bahagia.
Aku
mungkin sedikit beruntung dibandingkan bocah-bocah jalanan yang kusam
menadahkan tangan-tangannya di tiap persimpangan jalan-jalan kota besar. Aku
bersyukur terlahir dan besar dalam keluarga masih lengkap. Ayah dan Ibu
membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang, menyekolahkanku hingga
perguruan tinggi. Terimah kasih Ummiku, terimah kasih Ettaku. Etta (panggilan
untuk ayahku), Ummi (panggilan untuk ibuku).
Aku
terlahir dari keluarga tidak miskin kurang kaya cukup sederhana. Aku bergaul
dengan teman-teman sebayaku tanpa mengenal strata sosial. Menginjak usia remaja
pergaulanku tetap sama dengan mereka, dinamika usia remaja tetap juga aku
rasakan seperti yang mereka rasakan. Hingga yang namanya cinta monyet sempat juga
aku rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu
sama.
Setelah
lulus sekolah menengah atas, aku melanjutkan ke perguruan tinggi negeri di
sebuah kota yang termasuk kota metropolitan di belahan Timur Indonesia.
Perguruan tinggi itu cukup bergengsi secara nasional. Disanalah aku mengenal
segala macam latar belakang sosial dan ekonomi. Kami disambut bersama pulahan
ribu mahasiswa dengan sestimoni-sestimoni mengobarkan api semangat jiwa muda.
Disanalah aku kembali mencari perbedaan diantara puluhan ribu orang. Yang ku
dapati hanyalah persamaan. Kami sama-sama berpakaian putih hitam, kami
mahasiswa pria sama-sama gundul. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka?
Aku dan mereka itu sama.
Aku bersyukur lulus pada satu fakultas
yang dikenal cukup keras pola hidupnya. Mulai dari prosesi pengkaderan hingga
mata kuliah cukuplah menguras. Sejenak aku tersadar, bersyukur terdidik dari
keluarga yang sedikit keras, namun tetap ada kasih sayang. Tidak sedikit
mahasiswa baru yang lain mundur dari ganasnya style hidup di fakultas yang aku
lulusi. Disana ada proses pengkaderan berupa pencabutan hak asasi. Pada awalnya
itu sesuatu yang sulit untuk di terima. Katanya kita sudah mahasiswa, masa-masa
inilah dirasakan kemerdekaan seutuhnya. Kenapa hak asasi kami mesti dicabut
oleh senior yang sama sekali tidak punya hak. Bukankah hak asasi diatur dalam
regulasi di negara kita? sok protes sama senior. Ujung-ujungnya protes itu
dijawab dengan sebuah tamparan sendal eiger. Etzzz… gak’ usah dibayangin
sakitnya mas bro, tak terbayangkan.
Bukankah hak kita mengatur style rambut,
style pakaian (tentunya dalam batas kesopanaan)? Itu contoh kecil hak kami
mahasiswa baru yang dicabut. Kepala kami di plontos, pakaian kami hanya
berwarna hitam putih selama satu tahun. Sebuah panggilan menjijikkan yang tiap
hari menjadi konsumsi kuping ketika bertemu dengan senior yaitu “Tai cicak dan
botak”. Bayangin saja kita punya nama yang indah pemberian orang tua sekaligus
doa bagi kita tiba-tiba di panggil seperti itu. Etzzz...lagi-lagi jangan di
bayangin mas bro...
Itu
semua berlangsung selama satu tahun pertama di perguruan tinggi. Kami selaku
mahasiswa baru tentunya merasa ini bukan sebuah keadailan, ini sebuah
penindasan. Seakan-akan sok pintar bicara tentang keadilan dan penindasan.
Selepas
satu tahun di perguruan tinggi tentunya akan ada lagi mahasiswa baru yang akan
mengalami proses yang sama seperti yang telah aku lewati. Aku menyadari bahwa
itu semua adalah proses yang keras untuk sebuah esensi. Bukanlah sebuah
ketidakadilan bukan pula sebuah penindasan. Proses itulah yang mengajarkan
tentang persamaan, kami tidak merasakan perbedaan strata sosial, mungkin karena
kami sama-sama botak. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan mahkota di kepala
kita. Kami tidak diajarkan keangkuhan dengan pakaian yang kita pakai. Pada dasarnya
kita itu sama. Kita sama-sama punya kepala untuk berpikir. Kita sama-sama punya
tubuh untuk ditutupi oleh panasnya matahari dan dinginnya malam. Lantas apa
yang membedakan aku dengan mereka? Aku dan mereka itu sama.
Dinamika
kehidupan anak muda juga aku rasakan seperti mereka. Hingga yang namanya virus
merah jambu merasuki jiwa-jiwa yang berhasrat untuk memiliki juga sempat aku
rasakan. Lantas apa yang membedakan aku dengan mereka?
Aku
sama seperti mereka. Tapi belum tentu aku dengan kalian sama. Kalian itu makan
keju, mereka makan singkong. Orang tua kalian kaya, orang tua mereka kurang
kaya. Kalian berpakain mahal, mereka berpakaian murah meriah. Kalian tinggal
dirumah gedongan, mereka tinggal di gang-gang kumuh. Kalian itu bermobil,
mereka gonta ganti mobil dan sopir tiap hari.
Aku
sama seperti mereka dan tidak akan pernah mencari sisi perbedaan. Aku mungkin
berbeda dengan kalian dan aku mencari sisi persamaan.
Bukankah
kita sama-sama membutuhkan sesuap nasi dan seteguk air demi memenuhi lapar dan
dahaga. Kita sama-sama menangis dikala sedih dan tertawa disaat gembira. Kita
sama-sama gemetar sewaktu ketakutan melanda serta tergelak ketika kegembiraan
menerpa. Kita sama-sama berkeringat dibawah terik matahari dan menggigil
ditengah dinginnya malam ?
Rahmatullah
Andi Arno / Makassar 30.11.13